Entri Populer

Rabu, 09 November 2011

LANGIT PERJAKA 2

langit senja. yang terlukis sebagai peradaban dan kediaman yang teraniaya, yang selalu terjamah oleh ketidakadilan orang-orang yang mengatasnamakan cinta dan kejujuran. kemudian langit berubah dan menjadi kelam. seperti secangkir kopi yang terbuat dari gula aren. tak terlalu manis tapi terasa giung. kita lekas meminumnya untuk sekedar mengisi perut yang kembung oleh angin. sembari bercakap-cakap antara uang pensiunan dan uang pembayaran. yang keduanya saling mengernyitkan kening bila bersapa-sua. satu lain membuat pusing, lain hal lagi membuat legawa. kita lewati pagi bersama sepotong roti sembari membicarakan nasib penyair-penyair tua dan sajaknya yang lusuh.

arus balik menuju surabaya kau bilang telah tertutup rapat ada perkelahian disana tentang hak-hak dan kebutuhan hidup yang tak terpenuhi. seperti kolam renang dalam kamarku saja selalu saja gemerisik dengan bunyi kecipak-kecipak air dalam tuah, kemudian berhenti ketika lampu dalam merah lalulintas aku nyalakan ditengah-tengah kerumunan ikan koki dan ikan sepat.
kau juga membahas tentang desa-desa dalam kota yang sebenarnya kota adalah tumpukan desa. hanya saja tata letaknya berisikan bunga-bunga beracun yang selalu meninabobokan penghuninya saat perjalanan menuju kantor.

sebelum aku pulang kau suguhi aku dengan secarik kertas kosong untuk menulis sepotong sajak joki tobing seperti Rendra, tapi aku menolaknya. penyair sekarang bukan pemuja kata, lantaran kita sama butuh makan tapi mereka lebih membutuhkan. aku hanya satu bagian daripada mereka. tapi mereka adalah seluruh bagian dari kita semua. aku akan menulis puisi saatnya nanti langit masih perjaka dan saatnya nanti para penyair tidak buta pada dunia dan kata-kata. aku hanya khawatir itu saja.

2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar